Sabtu, 19 Mei 2012

Tenggelam dalam samudra istiqomah

Tertelan dalam Samudera Istiqamah

Kewajiban Berjalan

Setiap manusia yang hadir di dunia mempunyai sebuah kewajiban untuk
melakukan perjalanan. Untuk itulah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman
sebagai berikut:
Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikan bagaimana
kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah
orang-orang yang mempersekutukan (Allah)". (QS. 30:42)

Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu
memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu
adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak)
bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan
dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab
Allah. (QS. 40:21)

Perjalanan dalam perspektif ini bukan sekedar "travelling", dimana jasad
melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Tetapi jauh lebih
dalam dari itu, yaitu sebuah proses perjalanan beragama. Sebuah proses
perjalanan nafs, hijrah dan mujahadah dalam pengabdian kepada Allah Ta'ala.

Karena itulah, sebagian besar kisah nabi-nabi dalam Al Qur'an menceritakan
proses perjalanannya. Mulai dari Nuh A.S yang melakukan perjalanan beserta
para pengikutnya dengan sebuah kapal besar yang penuh muatan, Ibrahim yang
melakukan perjalanan dalam pecarian Tuhannya, dimana ia bertemu bintang,
bulan dan matahari, Musa A.S yang melakukan perjalanan dalam membebaskan
kaumnya dari perbudakan Fir'aun, sampai Nabi Muhammad SAW yang melakukan
perjalanan Isra' dan Mi'raj serta hijrahnya beserta para sahabat dari
Mekkah
ke Madinah. Semua kisah tersebut secara bathiniah menjelaskan kepada
manusia
tentang proses perjalanan beragama tersebut.

Untuk melakukan sebuah perjalanan, seseorang harus berbekal peta perjalanan
agar ia tidak tersesat untuk sampai kepada tujuan. Demikian pula proses
perjalanan beragama. Al Qur'an adalah peta perjalanan tersebut. Sebuah peta
yang akan menuntun proses perjalanan agama seseorang dalam menuju Tuhannya.
Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat
orang-orang yang mendustakan. (al-Qur'an) ini adalah penerangan bagi
seluruh
manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS.
3:137-138)

Maka, kepentingan dan kebutuhan untuk memahami pesan-pesan Allah Ta'ala
dalam Al Qur'an sangat utama dalam perjalanan ini. Alangkah sulitnya bagi
seorang manusia untuk berjalan dengan benar dalam menapaki perjalanan agama
ini, apabila ia tidak memahami pesan-pesan tersebut.
Dengan memahami Al-Qur'an, hal ini merupakan modal dasar bagi seseorang
untuk menempuh proses panjang perjalanan agamanya. Yang selanjutnya dengan
memahaminya ia akan mengerti kehendak, gagasan dan ide-Nya, yang
selanjutnya
akan mengantarkannya untuk mengenal pribadi Allah Ta'ala (ma'rifatullah).
Ibarat sebuah buku, dengan membaca dan memahami buku tersebut, maka kita
dapat mengerti ide, gagasan, kehendak pengarang, malah lebih jauh dari itu,
dapat pula mengenal karakter dan pribadi pengarang.

Selanjutnya mungkin akan timbul sebuah pertanyaan besar, bagaimanakah untuk
dapat memahami Al Qur'an?
Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menjawabnya dalam Al Qur'an, bahwa untuk
memahami makna terdalam dari Al Qur'an yang mulia yang didalamnya berisi
tentang petunjuk perjalanan agama hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang disucikan-Nya (QS.56:77-79), bukan sekedar dengan memikirkannya atau
mengacu kepada penafsiran ulama-ulama terdahulu.

Sebagian orang berpendapat bahwa untuk dapat mengerti Al Qur'an adalah
dengan memikirkannya dengan akal pikiran. Ketahuilah bahwa memikirkan Al
Qur
'an dalam kaidah ini bukanlah memikirkan dengan akal pikiran yang banyak
terbebani oleh hawa nafsu dan syahwat. Karena apabila ini terjadi, jadilah
ayat-ayat Al Qur'an hanyalah merupakan alat untuk melegitimasi aktualisasi
hawa nafsu dan syahwatnya saja.

Sebagian yang lain dengan berpatokan kepada tafsiran ulama-ulama terdahulu.
Maka bagi orang-orang yang melakukan ini, sadarilah bahwa persoalan
kehidupan setiap zaman bertambah. Thaghut yang timbul setiap zaman-pun
mengalami perubahan. Ulama-ulama terdahulu yang shalih yang disucikan
oleh-Nya, tentu dapat menyentuh makna terdalam Al Qur'an karena diberi
petunjuk oleh Allah Ta'ala, untuk menjelaskan Al Qur'an untuk zaman
tersebut, sesuai dengan kondisi permasalahan zamannya. Untuk itulah
dikatakan bahwa Al Qur'an menjelaskan segala sesuatu, sehingga berlaku
sepanjang zaman.

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri. (QS.
16:89)
Abu Hurairah R.A berkata: "Aku dikaruniai oleh Rasulullah SAW dua buah
karung ilmu pengetahuan. Satu karung telah kubuka, dan satu lagi tidak aku
buka. Sebab apabila aku buka, niscaya orang-orang akan menghalalkan
darahku". 1
Karung yang masih tertutup itu, Allah Ta'ala yang akan membukanya masa per
masa. Sesuai dengan permasalahan pada masa atau zaman tersebut. Sampai pada
hari akhir nanti semua isi karung tersebut telah terbuka.

Perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa mekanisme memahami makna terdalam Al
Qur
'an ini, yang akan Allah Ta'ala jelaskan maknanya untuk zaman tersebut,
adalah bukan dengan dipikir-pikirkan atau sekedar mengacu kepada penafsiran
ulama-ulama terdahulu. Tetapi dengan membiarkan Allah Ta'ala yang akan
memberikan ilmu dan petunjuk langsung ke dalam qalbu yang disucikan oleh
Allah.
Allah Ta'ala mensucikan qalbu seseorang yang bertaubat, dengan cahaya iman.
Sehingga suci dan teranglah qalbunya. Inilah keimanan yang benar. Dan
inilah
yang merupakan syarat untuk dapat menerima petunjuk langsung dari Allah Ta'
ala tersebut.

Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi
petunjuk
kepada qalbunya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 64:11)
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak
pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu
cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada
Shirath Al Mustaqiim. (QS. 42:52)
Sebenarnya, al-Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami
kecuali orang-orang yang zalim. (QS. 29:49)

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengatakan: "Orang yang membaca Al Qur'an nan
agung ini seharusnya melihat, bagaimana Allah Ta'ala menyayangi
makhluk-Nya,
ketika mengalirkan makna-makna firman-Nya untuk memberi pemahaman kepada
mereka."2
Untuk itulah, sesungguhnya orang-orang yang tidak dapat menerima petunjuk
Allah Ta'ala untuk mengerti muatan terdalam dari Al Qur'an ini adalah
mereka
yang terkunci qalbunya.
Maka apakah mereka tidak mentadaburi Al-Qur'an ataukah qalbu mereka
terkunci? (QS. 47:24)
Oleh karena itu tidak akan mungkin seseorang dapat memahami kandungan Al
Qur
'an secara hakiki dengan qalbu yang gelap gulita dan lubb (akal qalbu) yang
mati. Karena itu Imam Al Ghazaly berkata : "Barangsiapa buta qalbunya, maka
tidak akan tersentuh agama ini kecuali kulit dan tanda-tandanya saja,
sedangkan intisari hakikat-hakikat agama tidak tersentuh sama sekali."3
Karenanya, sesungguhnya penjelasan-penjelasan Al Qur'an bukanlah konsumsi
otak (akal jasmaniyah) untuk dapat menyentuhnya. Tetapi seorang dapat
menyentuh penjelasan-penjelasan Al Qur'an dengan qalbu. Qalbu yang
diterangi
cahaya iman.

Sesungguhnya apabila qalbu seorang manusia tidak terkunci, maka ia akan
mendapati bahwa Al Qur'an sangat deskriptif menjelaskan peta proses
perjalanan keagamaan seorang manusia. Darimana memulainya sampai dengan
tujuan akhir perjalanan. Sehingga ia akan mengatakan: "Benar! inilah
ayat-ayat Tuhanku yang menjelaskan segala sesuatu."

Selama ini, kebanyakan manusia hanya melakukan perjalanan secara jasadiyah
saja. Raganya saja yang melakukan perjalanan, sedangkan nafs nya yang
cantik
meringkuk dalam penjara hawa nafsu dan syahwat.
Agar qalbu disucikan oleh Allah Ta'ala, maka seseorang harus mulai
melakukan
proses perjalanan beragamanya. Ibarat air kalau menggenang, tidak mengalir
akan menjadi tempat bersarang dan berkembangnya berbagai macam potensi
penyakit. Demikian pula nafs manusia, diapun harus berjalan, agar qalbunya
disucikan oleh Allah Ta'ala.
Dalam Al Qur'an sangat deskriptif dijelaskan tentang peta perjalanan
beragama. Darimana memulainya, tahapan-tahapannya, sampai dengan tujuan
akhir perjalanannya.

Sebagaimana sebuah perjalanan jasadiyah, sangat penting mengerti
tahapan-tahapan dan tujuan perjalanan. Apabila seseorang tidak melandasai
perjalanan agamanya dengan Al Qur'an, sesungguhnya mereka telah melakukan
dengan perasangkanya saja. Akibatnya ketika perjalanannya telah jauh
bergeser dari tujuannya, niscaya ia tidak akan menyadarinya.

. syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam qalbumu persangkaan
itu
(QS. 48:12) Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik
apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. 10:12) Sebenarnya orang-orang kafir
itu dijadikan (oleh syaitan) memandang baik tipu daya mereka dan
dihalanginya dari jalan (yang benar). Dan barangsiapa yang disesatkan
Allah,
maka baginya tak ada seorangpun yang akan memberi petunjuk". (QS. 13:33)
Mencoba untuk memahami Al Qur'an, dapat dimulai dengan mengetahui topik
general yang dibahas dalam Al Qur'an dari induknya yaitu Surat Al Fathihah.
Untuk itulah Rasulullah SAW menyebut Surat Al Fathihah sebagai Ummul
Kitab.4

Dalam Ummul Kitab (QS 1:7), dikatakan bahwa manusia akan terbagi menjadi
tiga golongan, yaitu:
Golongan yang diberi nikmat
Golongan yang sesat
Golongan yang dimurkai Allah
Golongan yang diberi nikmat adalah mereka golongan para nabi, shiddiqiin,
syuhada dan shalihiin (QS 4:69). Merekalah golongan yang dikehendaki Allah
Ta'ala, dan dijaga oleh Allah Ta'ala untuk selalu berada diatas Shirath Al
Mustaqiim.
Golongan yang dimurkai Allah Ta'ala adalah mereka yang kafir dan musyrik
kepada Allah Ta'ala, merasa senang dan bangga atas kekafiran dan
kemusyrikannya, serta tidak berusaha untuk keluar dari kekafiran dan
kemusyrikannya.
Sedangkan golongan yang sesat adalah mereka yang tidak mendapat petunjuk
dari Allah Ta'ala, karena melaksanakan agama dengan hawa nafsu dan
perasangka, sehingga sadar atau tanpa disadarinya telah tersesat dari
Shirath Al Mustaqiim.
Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu
telah sesat dari Shirath Al Mustaqiim. (QS. 2:108)

Dalam perjalanan menuju Tuhannya, Ibrahim berkata:
"Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat". (QS. 6:77).
Kesesatan yang akumulatif dan tidak melakukan taubatan nasuuha, akan
menyebabkannya sedikit demi sedikit menggelincirkannya dalam golongan orang
yang dimurkai Allah Ta'ala.

Permasalahan kesesatan sangat erat kaitannya dengan dapat atau tidaknya
seorang hamba menerima petunjuk secara langsung ke qalbu dari Allah Ta'ala.
Karena dengan petunjuk inilah panduan berjalan, yaitu Al Qur'an menjadi
nyata dalam dadanya, serta secara individual ia akan dipimpin oleh Allah
Ta'
ala menuju Shirath Al Mustaqiim.

Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi
petunjuk
kepada qalbunya. (QS. 64:11) sehingga al-Qur'an itu menjadi ayat-ayat yang
nyata di dalam dada (QS. 29:49) padahal sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
apakah Al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu,
tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia
siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (QS. 42:52) dan agar
orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur'an itulah
yang hak dari Rabbmu lalu mereka beriman dan tunduk qalbu mereka kepadanya
dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang
beriman
kepada Shirath Al Mustaqiim. (QS. 22:54)

Mungkinkah Mendapat Petunjuk Langsung dari Allah Ta'ala?
Mungkin sekarang ini timbul dalam benak kita sebuah pertanyaan? Tidakkah
petunjuk langsung ini hanya dapat diterima para Nabi para sahabat atau
orang-orang shalih dahulu? Adakah pada masa sekarang ini orang yang mampu
menerima petunjuk langsung dari Allah Ta'ala? Apakah kita dapat pula
termasuk kedalam golongan orang yang diberi petunjuk langsung oleh Allah
Ta'
ala?

Jawabannya adalah bahwa petunjuk langsung dari Allah Ta'ala bukan
semata-mata dapat diterima oleh para Nabi, para sahabat atau orang-orang
shalih dahulu. Semua orang pada masa ini mempunyai potensi untuk dapat
menerima petunjuk langsung dari Allah Ta'ala. Dan pada masa ini tentu
terdapat orang-orang yang dapat menerima petunjuk dari Allah Ta'ala. Namun,
karena persepsi dalam diri kita bahwa petunjuk langsung ini hanya dapat
ditangkap oleh para Nabi, para sahabat atau orang-orang shalih dahulu,
menyebabkan kita mengabaikannya. Bahkan -mungkin- apabila kita bertemu
dengan mereka, kita hanya mencomooh mereka saja, karena waham yang ada
dalam
diri kita.

Tahapan Perjalanan Agama
Tidak banyak orang yang tahu, apakah tujuan akhir dalam perjalanan
agamanya?
Bahkan ulama-ulama yang masyhur pada masa sekarangpun sangat sedikit yang
mengetahuinya.
Ketahuilah bahwa tujuan akhir dalam melaksanakan perjalanan agama adalah
untuk menjadi hamba yang didekatkan kepada-Nya (Al Muqarrabuun). Dan untuk
dapat menjadi hamba yang didekatkan kepada-Nya, seorang hamba harus berada
di atas Shirath Al Mustaqiim, karena Allah Ta'ala berada di atas Shirath Al
Mustaqiim.
Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada
suatu
binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya.
Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus". (QS. 11:56)
Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada
(agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang
besar
dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada
Shirath Al Mustaqiim (untuk sampai) kepada-Nya. (QS. 4:175)

Shirath secara akar bahasa berarti tertelan, Al Mustaqiim berarti adalah
orang-orang yang telah mantap keistiqamahannya pada jalan Allah Ta'ala.
Sehingga Shirath Al Mustaqiim lebih dekat artinya dengan telah tertelannya
seorang hamba dalam keistiqamahan pada jalan-Nya. Pada posisi inilah
seorang
hamba dijaga oleh Allah Ta'ala dari kesalahan, seperti dipegangnya
ubun-ubun
binatang melata.
Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang
ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus". (QS. 11:56)
Sangat tingginya arti keberadaan seseorang pada Shirath Al Mustaqiim dalam
perjalanan agamanya, sehingga dalam shalat kita selalu memohon: "Ya Allah,
tunjukilah kami ke Shirath Al Mustaqiim". (QS. 1:6)

Dan untuk dapat berada diatas Shirath Al Mustaqiim, seseorang harus dapat
menerima petunjuk langsung dari-Nya. Seseorang harus dapat mengerti apa
yang
Allah Ta'ala kehendaki dan inginkan darinya. Mustahil seseorang akan berada
di Shirath Al Mustaqiim apabila ia tidak dapat mengerti apa yang Allah Ta'
ala inginkan dan kehendaki darinya. Sementara ia tetap saja berjalan dengan
hawa nafsunya sendiri, termasuk dalam menjalankan agamanya.

dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur'an
itulah yang hak dari Rabbmu lalu mereka beriman dan tunduk qalbu mereka
kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang
yang beriman kepada Shirath Al Mustaqiim. (QS. 22:54)

Dan untuk dapat menerima petunjuk langsung dari Allah Ta'ala ini, syaratnya
adalah iman. Keimanan yang hakiki, bukanlah iman yang sekedar berdasarkan
dalil-dalil apalagi ketaklidan.
Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi
petunjuk
langsung kepada qalbunya. (QS. 64:11) Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka
karena keimanannya. (QS. 10:9)

Imam Al Ghazaly mengatakan, bahwa iman itu terbagi atas 3 (tiga) jenis,
yaitu5:

Iman Awami
Yaitu iman secara awam. Sering juga disebut iman taqlidi, karena seorang
yang beriman dalam tingkatan ini hanya taqlid tanpa dapat mengemukakan
dalil-dalil dari apa yang diimaninya.

Iman Mutakallimin
Yaitu iman dengan dalil-dalil (argumentatif). Baik dalil-dalil Akal meupun
dalil-dalil ayat Al Qur'an maupun hadits. Namun keimanan jenis ini lebih
dekat kepada Iman Awami.

Iman Arifin
Yaitu iman dengan yakin, bukan sekedar taqlid ataupun berdasarkan
dalil-dalil. Tetapi beriman berdasarkan petunjuk langsung dari Allah
Ta'ala.
Iman secara arifin inilah iman yang hakiki yang pada hakikatnya adalah
cahaya yang dilimpahkan Allah Ta'ala untuk membersihkan dan menerangi qalbu
yang terkunci dari karat-karat dosa. Dengan terbersihkan dan terteranginya
qalbu dengan cahaya iman inilah yang menyebabkan petunjuk langsung dari
Allah Ta'ala dapat ditangkap oleh qalbu.

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). (QS. 2 : 257)
Allah Ta'ala mengeluarkan seorang dari kegelapan kepada cahaya adalah
dengan
rahmat (pertolongan)-Nya sebagai jawaban atas usaha seorang hamba dalam
mengaktualisasikan nilai-nilai substansial yang dijelaskan Al Qur'an.
Dialah yang memberi rahmat kepadamu, dan malaikat-malaikat Nya, supaya Dia
mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). (QS 33 : 43)
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan
manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin
Rabb-mu. (QS 14 : 1) . dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang
itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan
seizin-Nya,
... ( QS 5 : 16)

Tahapan-tahapan awal yang diusahakan untuk mendapatkan rahmat Allah Ta'ala,
sehingga Dia mengeluarkan seorang manusia dari kegelapan kepada cahaya
adalah dengan melakukan Taubatan Nasuuha.

Taubatan Nasuuha ini perintahnya wajib. Namun sedikit sekali orang yang
melakukannya. Mereka berpikir bahwa taubat hanya perlu dilakukan apabila
telah melakukan dosa yang sangat besar. Mereka sama sekali tidak menyadari,
bahwa hampir tidak ada hari-hari yang dilaluinya lepas dari dosa. Dan
ketahuilah bahwa dosa-dosa kecil yang dianggap biasa, nilainya akan menjadi
sangat besar dihadapan Allah Ta'ala. Sungguh sangat sombong, seorang
manusia
yang merasa bahwa dirinya telah lepas dari dosa, padahal ia sama sekali
tidak mendapatkan petunjuk dari Allah Ta'ala. Rasulullah SAW pun yang telah
tertelan dalam samudera istiqamah, selalu memohon ampun dan bertaubat
kepada
Allah Ta'ala minimal tujuh puluh kali dalam semalam.6

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan
nasuuha, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai (QS.
66:8)

Taubatan Nasuuha ini dilakukan dengan melakukan 4 (empat) langkah terus
menerus tanpa henti, yaitu:
- Mohon ampun
- Taubat (menyesali diri dan ingin kembali kepada jalan-Nya)
- Memperbaiki Diri
- Berpegang teguh kepada tali Allah dengan berserah diri kepada-Nya

Dan mohonlah ampun kepada Rabbmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. (QS.
11:90) Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan
memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya (QS. 5:39)
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang
teguh
pada Allah dan tulus ikhlas dalam beragama mereka karena Allah. (QS. 4:146)
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang
yang
berbuat ihsan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (QS. 31:22)

Ketika seorang Arab Badwi datang menemui Rasulullah SAW, lalu berkata: "Aku
telah beriman", lalu Allah Ta'ala memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk
mengatakan: "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah 'kami telah berserah
diri', karena iman itu belum masuk ke dalam qalbumu". (QS. 49:14) dalam
ayat
yang lain bahkan dikatakan bahwa orang yang dibukakan qalbunya untuk
berserah diri, kemudian karena keberserahan dirinya, Allah Ta'ala
memberikan
kepadanya cahaya iman". (QS 39:22) Berserah diri kepada-Nya inilah yang
merupakan gerbang bagi dilimpahkannya cahaya iman oleh Allah Ta'ala.

Proses penyerahan diri kepada Allah Ta'ala, pada dasarnya adalah proses
menyediakan dirinya untuk diatur oleh Allah Ta'ala. Dan tidak diatur oleh
hawa nafsu. Dan hal tersebut mencakup seluruh aspek, yaitu aspek rasa
(perasaan), karsa (keinginan), cipta (pikiran) dan juga karya (amal).

Hal ini sangat perlu ditegaskan, karena banyak orang tidak menyadari atau
bahkan mengabaikan bahwa aspek rasa, karsa dan cipta-pun telah dihisab oleh
Allah Ta'ala. Mereka sangat mengutamakan aspek lahir, karena memang ini
terlihat oleh manusia. Namun qalbunya sangat rapuh dikotori oleh rasa,
karsa
dan cipta yang tidak benar. Padahal sadarilah, bahwa segala amal tergantung
kepada niatnya. Segala amal yang diniatkan bukan untuk pengabdian kepada
Allah Ta'ala, maka Allah Ta'ala akan membiarkannya bertebaran seperti debu
ditiup angin. Dan sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Mengetahui apa-apa yang
tergores di qalbu manusia.

Dan sesungguhnya Rabbmu, benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan
qalbu
mereka dan apa yang mereka nyatakan. (QS. 27:74) Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan qalbu (fu'ad), semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya. (QS. 17:36)

Perjuangan untuk berserah diri kepada Allah Ta'ala dalam segenap aspek
merupakan perjuangan melawan hawa nafsu. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah
berkata: "Hawa nafsu yang ditaati, sesungguhnya itulah penyebab kegelapan
dan berkaratnya qalbu. Demikianlah, ia ibarat karat pada cermin yang dapat
menghalangi pada pancaran kebenaran. Qalbu adalah ibarat kaca, hawa nafsu
ibarat karat, sedangkan Al Qur'an itu bagaikan gambar yang memantul di
dalam
cermin. Sedangkan latihan qalbu dengan memerangi hawa nafsu, adalah ibarat
jernihnya kaca tersebut."7

Wajarlah apabila Rasulullah SAW bersabda: "Kita kembali dari jihad yang
kecil kepada jihad yang besar yaitu memerangi hawa nafsu."8 Karena dengan
taubatan nasuuha yaitu memohon ampun, bertaubat, memperbaiki diri dan
berserah diri kepada-Nya merupakan sebuah langkah memerangi hawa nafsu,
yang
merupakan sebuah langkah awal bagi seorang manusia untuk menyediakan agar
qalbunya dapat memahami Al Qur'an, mendapat petunjuk dan terpimpin kepada
Shirath Al Mustaqiim.

Sungguh, alangkah naifnya perjalanan beragama seorang manusia, apabila
panduan utamanya dalam berjalan yaitu Al Qur'an tidak dapat dipahaminya.
Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia sekarang ini dalam keadaan demikian.

Ujian Allah Ta'ala
Dalam menapaki perjalanan beragama tersebut, Allah Ta'ala akan selalu
menghadapi manusia yang melakukan perjalan dengan ujian. Karena dengan
ujian
inilah Allah Ta'ala mengetahuia siapa orang-orang yang benar-benar berjihad
dan siapa yang sabar.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi
Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang
yang sabar. (QS. 3:142)
Dengan ujian-ujian inilah nyata orang yang berjihad dan bersabar, sehingga
Allah Ta'ala menambah keimanan yang ada dalam diri mereka. Yang akhirnya
akan sempurnalah keimanannya sesuai dengan kadar yang Allah Ta'ala
tentukan.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami
telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QR. 29:2) Dia-lah yang
telah menurunkan ketenangan ke dalam qalbu orang-orang mu'min supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). (QS.
48:4)
Ujian dari Allah Ta'ala ada dua jenis, yaitu ujian berupa kesenangan dan
kesusahan.
Dan Kami coba mereka dengan yang baik-baik (hasanah) dan yang buruk-buruk
(sayyiah), agar mereka kembali (kepada kebenaran). (QS 7 : 168) Kami akan
menguji kamu dengan keburukan (syarri) dan kebaikan (khairi) sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya). (QS 21 : 35)

Ujian berupa kesusahan inilah yang seringkali pula dibahasakan dengan
musibah. Dalam satu sisi musibah ini merupakan ujian dari Allah Ta'ala,
dalam sisi lain musibah ini merupakan akibat perbuatan tangan mereka
sendiri
(disebabkan dosa-dosa mereka).

Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar, (QS. 2:155) (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Innaa lillahi wa innaa ilaihi
raaji'uun". (QS. 2:156)
Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah
kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. 5:49)

Setiap manusia, siapapun itu, apakah ia ingin bertaubat kembali ke Allah
Ta'
ala ataupun tidak, selalu mendapatkan ujian dari Allah Ta'ala. Ujian ini
bertujuan agar manusia sadar untuk kembali kepada Allah Ta'ala dan
menyandarkan dan menggantungkan dirinya hanya kepada Allah Ta'ala.
Namun banyak manusia, yang dengan ujian-ujian tersebut menjadi sombong dan
lupa diri. Banyak pula yang berkeluh kesah, bahkan mensekutukan Allah
dengan
selain-Nya. Sehingga karena pensikapan manusia yang demikian dalam
menghadapi ujian Allah, Allah menyesatkannya.

Ada pula manusia yang dengan ujian-ujian tersebut, menyebabkan ia semakin
bersyukur, mendekatkan diri dan berserah diri kepada Allah. Sehingga karena
pensikapan manusia yang demikian dalam menghadapi ujian Allah, Allah
memberi
kepadanya petunjuk-Nya.
... Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan
Engkau
beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. (QS 70 : 155)
Alangkah anehnya jika seseorang telah merasa beriman, tetapi ia tidak
pernah
merasakan adanya ujian dari Allah Ta'ala atau bahkan selalu mengeluh tiap
kali ditimpa sebuah ujian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar