Sabtu, 19 Mei 2012

SANDAL JEPIT ISTERIKU

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang
memenuhi kepala ini. Duh... betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar
memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah.
Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin
nggak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar...? Selalu saja,
kalau tak keasinan...kemanisan, kalau tak keaseman... ya kepedesan!" Ya,
aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.

"Sabar bi..., Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah.
Katanya mau kayak Rasul...? " ucap isteriku kalem. "Iya... tapi abi kan
manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau
makan terus menerus seperti ini...!" Jawabku dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan
kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah
merebak.

***

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh
dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di rumahku.
Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang
kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling.
Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak
(pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini.
Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw...
berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena
berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci.


Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut
dada. "Ummi...ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus
menerus begini...?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi...
isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus
pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bias masak,
nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?" Belum sempat kata-kataku
habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu.
"Ah...wanita gampang sekali untuk menangis...," batinku berkata dalam hati.


"Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat...?
Isteri shalihat itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air
matanya menganak sungai dipipinya. "Gimana nggak nangis! Baru juga pulang
sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak
bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah.
Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama
sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih
bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi,
sementara air matanya kulihat tetap merebak.


***

Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi...
abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku. "Ya
sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak
pingsan di jalan," jawab isteriku.

"Lho, kok bilang gitu...?" selaku. "Iya, dalam kondisi muntah-muntah
seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi
ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi
mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi.

"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan. Pertemuan hari
ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan
untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi
rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan
pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum
selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu
persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal.
"Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun
lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada
sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah.

Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?"
tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih
sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya
hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan
isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal.
Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku Maryam," pinta
hatiku.

"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap
ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong
bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan
jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali
melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku
menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum
juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan
berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda
dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju
berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh
pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena
selama ini kurang memperhatikan isteri.


Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan
sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan
kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak
kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan
Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang
isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik
di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." Sedang
aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar
menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan
menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku
benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!!

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh
itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan
ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat
perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Abi...!"
bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang
ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal
hatiku.

***

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu,
senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah,
jazakallahu...,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku
terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru
sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan 'iffah sepertimu?
Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang
berbinar-binar karena perhatianku...?


Semoga berguna bagi kita semua....amin ya rabbal alamien

Wassalam

tth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar