Sabtu, 19 Mei 2012

Sumeleh

Orang bijak mengumpamakan dunia ini seperti ular: ''Lunak bila disentuh,
namun racunnya mematikan.''


Sumeleh
JATUH-bangun dalam berbisnis itu lumrah. Ada masa naik, dan ada waktu
turun. Persis main enjot-enjotan. Pasang-surut itu pula yang menimpa
Winston --sebut saja begitu. Di zaman Jepang, ayahnya dijebloskan ke sel
tanpa alasan jelas. Hartanya dikuasai Jepang, dan ia tak bisa bersekolah.

Tapi, kegigihan dan ketekunan Winston tak lapuk dimakan hujan dan panas. Ia
bersedia ngenger untuk jadi pembantu. Ia hanya minta disekolahkan. Selain
itu, ia memohon agar pada pukul 19.00-21.00 diizinkan belajar. Jangan
diganggu. Oke!

Akhirnya, pria keturunan Cina ini berhasil. Ia kaya raya. Mobilnya tak
kurang dari 10. Waktu itu, di kotanya, sedan Mercy S-230 cuma ada dua,
satunya milik Winston. Saking banyak mobilnya, Winston sampai lupa Mercy
yang dipinjamkan kepada seorang teman. Tahu-tahu teman itu lapor: ''Mobil
yang saya pinjam lampunya dicongkel maling.'' Ternyata  harta itu tak
kekal. ''Saya ditipu orang Singapura,'' katanya. Usaha ekspornya jatuh.
Ludes. Mobilnya cuma tersisa
sebuah Gaz beratap terpal yang bocor. Mobil itu diomprengkan, sekaligus
disopiri sendiri. Ngangkut sayur pun oke. ''Yang  penting halal,'' ujarnya.

Pernah suatu saat, Winston  ditanya penumpangnya. ''Kalau begitu, Bapak
kenal dengan Pak Winston, orang kaya yang bangkrut itu.'' Ia mengiyakan,
dan belakangan malah buka kartu: ''Saya ini Winston.'' Orang itu kaget.
Sopir berbaju lusuh itu ternyata Winston yang dulu sukses.

Winston sendiri cuma menarik napas dalam, ingat masa jayanya. Perasaan itu
pula yang dialaminya kala ia berada di depan etalase toko sepatu di Pasar
Baru, Jakarta. Ia ingat anak-anaknya yang selalu dibelikan sepatu impor.
Miskin itu memang menyakitkan --kalau tetap memanjangkan angan-angan.

Menjadi ''kere'' memang tak enak. Kala berjalan di Matraman, Jakarta Timur,
misalnya, Winston diserempet sedan. Nyaris ia celaka. ''Mentang-mentang
kaya, seenaknya,'' ia ngomel. Tapi, ia juga berintrospeksi. ''Apa selama
ini saya kurang bersedekah?'' ujar Winston, yang bukan Islam tapi mengaku
sudah puluhan kali menimba keislaman dari para kiai.

Pria atletis ini merenung sejenak. Ia sadar bahwa cinta duniawi adalah
pangkal setiap kesalahan. Ia pun teringat ucapan beberapa kiai bahwa
derajat paling tinggi dalam kedermawanan adalah mengutamakan orang lain.
Yaitu, dermakan miliknya walau ia sendiri memerlukan.

Kontan, Winston merogoh kantongnya. Ia sedekahkan Rp 2.000 --dari total
uang di kantongnya yang Rp 2.500-- kepada
pengemis yang menengadahkan tangan di jalan. ''Ibu dan anak Ibu belum
makan?'' tanya Winston yang terlarut dalam kenelangsaan.


Hari itu, Winston memperoleh ''pelajaran'' berharga. Ia ikhlas bersedekah,
meski untuk itu harus berjalan kaki dari Matraman ke tempat tinggalnya
sejauh sekitar 15 km. Hari itu, ia mulai bisa berbagi penderitaan dengan
orang lain.

Namun, impitan ekonomi yang tiada henti membuat Winston putus asa. Maka,
kala melintasi jembatan di Manggarai,  ti bul niat buruknya:bunuh diri!
''Jika saya meloncat ke sungai dan kepala terantuk ke batu itu, tentu tamat
penderitaan ini,'' pikirnya.

Tapi, sebelum mengeksekusi diri, tiba-tiba seperti ada bisikan: ''Lihatlah
ke samping. Lihatlah!'' Ia palingkan    wajahnya. Di bawah jembatan itu,
tampak suami-istri tengah menanak nasi dengan umplung alias kaleng bekas.
Dan, anaknya yang kurus sedang asyik bermain di samping gubuk kartonnya.

Winston terhenyak. Tampaknya, hidup itu harus dilalui dengan sabar dan
lapang dada. Tak bisa hanya menjadi ''mat keluh''. Mereka tinggal di gubuk
reyot, mengais rezeki dari barang bekas, toh nyatanya bisa hidup. ''Kok,
saya yang baru dicoba begini sudah putus asa,'' ujarnya dalam  hati.

Ya, hari itu, Winston bersyukur karena ada ''yang'' mengingatkan. Motivasi
hidupnya terpicu kembali. Ia sadar, Tuhan memberi rezeki dari arah yang tak
disangka-sangka. Betul saja. Ia ditunjukkan jalan: menjadi ''buruh''
pembangunan stadion di Singapura. Modal pun terkumpulkan, hingga bisa untuk
modal dagang.

Usaha Winston mulai tumbuh. Ia bisa membeli mobil, dan rumah. Kini, ia
sedang mengurus warisan orangtuanya di Jawa Timur. Jika beres, di tanah itu
kelak didirikan hotel. Ia juga akan membuat sumur bor untuk warga di daerah
yang sulit air tersebut.

Pendeknya, Winston ingin berbagi rezeki. Ia juga ingin menjalin tali
persaudaraan. Ia sadar bahwa mencari kawan itu kian terasa sulit.
Masing-masing orang seperti terjebak membuat sekat; mengedepankan kerakusan
harta dan jabatan. Orang bijak mengumpamakan dunia ini seperti ular:
''Lunak bila disentuh, namun racunnya mematikan.'' Itulah yang ditakutkan.
Ia tak  mau lagi berpanjang angan-angan.

Baginya, hidup ini hanya untuk menambah nilai kebaikan dan    ikatan
persaudaraan. Tak perlu   dikejar-kejar. Bikin stres. Jika tak bisa menjadi
matahari, jadilah bintang. Kalau tak mampu jadi pohon, jadilah semak. Kalau
tak bisa jadi semak, jadilah  rumput. ''Hati ini perlu diajak sumeleh,
sebelum menghadap Ilahi,'' katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar